Rasisme
bukanlah sesuatu hal yang bisa dianggap remeh, “penyakit” ini bisa
muncul kapan saja dan di mana saja. Perlu kesadaran dini dari setiap
individu agar “penyakit” rasisme ini bisa dihentikan. Warisan kelam
nenek moyang ras Caucasian (bangsa-bangsa Eropa) yang mendewakan
supremasi kulit putih saat menjajah, menjarah, memperbudak dan
mengoyak-oyak bangsa-bangsa kulit berwarna (Asia, Amerika, Afrika)
harusnya sudah ditinggalkan saat ini, abad di mana persamaan hak
dijunjung tinggi harus tanpa membedakan warna kulit. Tidak terkecuali
pada dunia sepakbola dan Liga Inggris.
Dahulu,
kasus yang menimpa pemain-pemain berkulit hitam seperti Viv Anderson
dan John Barnes yang dilempari pisang serta diteriaki chants suara-suara
monyet; adalah hal biasa dan FA tidak pernah memberikan sanksi tegas
bagi pelaku rasisme ataupun memberikan perlindungan bagi pemain yang
menjadi korban. Sementara di tempat lain para pemain pendukung Tottenham
Hotspurs selalu menjadi korban pelecehan salute ala Nazi,chants dengan
menirukan suara gas/kamar gas dan sebutan-sebutan Yahudi, mengingat
banyaknya keturunan Yahudi yang tinggal di sekitar stadion White Hart
Lane. Hingga akhirnya muncul kampanye akbar “Let’s Kick Racism Out Of Football” yang diprakarsai oleh organisasi kickitout.org semenjak
tahun 1993 dan didukung penuh oleh PFA (Professional Footballers
Association) juga English Premier League dan FA. Memberikan harapan
cerah berupa perlindungan terhadap korban rasisme pada kasus-kasus yang
banyak terjadi di lapangan saat liga Inggris belum berubah menjadi EPL.
16 October 2011 (Evra-Suarez: Negrito itu bukan rasis!)
Patrice
Evra yang ditemani oleh SAF melaporkan adanya tindakan rasisme yang
dilakukan oleh Luis Suarez sepanjang pertandingan berlangsung kepada
wasit Andre Marriner pasca pertandingan. Terhitung 10 kali, Luis Suarez
mengatakan sebutan The N-wordatau”Nigger” atau “Negrito” pada
Pat sepanjang pertandingan berlangsung. Kasus ini akhirnya diangkat
hingga FA harus melakukan investigasi akan tuduhan rasisme yang
dilakukan oleh Suarez terhadap Pat.
Luis
Suarez menyangkal tuduhan itu, dan membela diri bahwa di Negara
asalnya, Uruguay, sebutan “Negrito” bukanlah bertendensi rasisme, bahkan merupakan sebuah ungkapan/sapaan “keakraban” antara teman. Suarez menambahkan: “Itu
hanyalah bentuk saya mengekspresikan diri. Saya memanggilnya dengan
sebutan dimana rekan-rekannya di Manchester biasa memanggil Evra.”
Apakah Anda merasa ada yang aneh dengan pernyataan Suarez tersebut? Mari kita cermati lagi.
- Apakah Luis Suarez adalah teman, kawan akrab atau bahkan sahabat Patrice Evra sehingga dia bisa menyebutnya dengan sebutan “Negrito” ?
- Apakah Patrice Evra berasal dari Uruguay sehingga dia mengerti dan bisa menerima sebutan “Negrito” sebagai sapaan akrab antar sahabat khas Uruguay seperti yang Suarez lakukan terhadapnya?
- Apakah Suarez mengenal baik dan pernah berada di tengah-tengah rekan-rekan Pat di Manchester sehingga dia mengetahui secara persis bagaimana rekan-rekan Pat biasa menyebutnya?
Rasanya
tidak ada jawaban selain dari kata “TIDAK”. Itu hanya asumsi semata,
Anda boleh setuju ataupun tidak, namun yang perlu saya garis bawahi
adalah: Suarez telah MENGAKUI memanggil Pat dengan sebutan “Negrito”
pada pertandingan tersebut. Sudah jelas-jelas Suarez melanggar salah
satu peraturan FA yang melarang pemain melakukan tindakan berikut:
“abusive and/or insulting words and/or behaviour contrary to FA rules”, including “a reference to the ethnic origin and/or colour and/or race “.
Apapun
alasan dan pembelaannya, entah itu dianggap sebagai kebudayaan yang
berbeda atau kakek dari Suarez juga berkulit hitam sehingga sebutan
“Negrito” bukanlah sebuah ungkapan rasisme, toh hal tersebut tidak dapat
menghindarkan Suarez dari sanksi FA berupa larangan bermain 8
pertandingan dan denda £40,000 pada 20 Desember kemarin. Sanksi yang
oleh pihak Liverpool, Suarez, Dalglish dianggap terlalu “berat” dan
sangat merugikan. Benarkah? Saya rasa untuk kasus rasisme, hukuman
tersebut terlalu ringan.
Suarez
mungkin tidak mengenal peribahasa “Di mana bumi dipijak disitu langit
dijunjung” seperti yang kita kenal, namun seharusnya dia bisa berlaku
bijaksana dan banyak belajar ketika dia mendaratkan kakinya di Inggris,
bermain di liga Inggris dan hidup di sebuah masyarakat dengan kebudayaan
yang berbeda pula dari tanah kelahirannya di Uruguay.
Yang
lebih mencengangkan lagi adalah bagaimana reaksi dari Kenny Dalglish,
pihak klub Liverpool FC dan fans LFC sendiri dalam menyikapi kasus ini.
Mereka benar-benar melakukan pembelaan membabi buta terhadap Luis Suarez
baik di media maupun melalui pihak resmi klub. Saat FA memutuskan akan
menginvestigasi kasus ini, FA meminta pihak klub dan manajer menahan
diri memberikan opini ke media yang bias sehingga bisa memperkeruh
suasana, namun apa yang terjadi? Saat MUFC dan SAF dengan begitu
menghormati perintah tersebut dan menyerahkan semuanya ini kepada FA,
Dalglish dan LFC justru sering memberikan pembelaan dan mengarahkan
opini publik bahwa Luis Suarez tidak bersalah. Apapun alasannya, yang
penting Suarez harus bebas, dia tidak bersalah dan tidak rasis. Salut
atas kebersamaan mereka!
Saya selalu menghormati Liverpool FC sebagai rival dan supporter mereka yang begitu fanatik, namun kebersamaan di atas slogan “You’ll Never Walk Alone” untuk membela seorang pemain yang melakukan tindakan rasisme??! Berlebihan??
Rasanya
tidak. Mungkin mereka hanya tidak beranjak dari tempat duduk mereka
seperti saat mereka menyerang John Barnes dengan caci maki rasis, monkey noises saat
Barnes masih bermain di Watford dan kemudian justru balik mengecam fans
Everton, WestHam dan Milwall yang melakukan pelemparan pisang dan
chants suara-suara monyet kepada Barnes saat ia sudah berbalut seragam
kebesaran merah-merah Liverpool FC.
1987
John Barnes was pictured back-heeling a banana off the pitch during a
match for Liverpool against Everton, whose fans chanted ‘Everton are
white’.
Let Suarez Walk Alone ………………
Sumber : http://ardiresistance.blogspot.com/2011/12/antara-rasisme-negrito-dan-hipokrisi.html
0 komentar:
Posting Komentar